Pendaftaran Kader PDI Perjuangan

Butuh 20 Tahun Lebih Perjuangkan Kekhususan Bali,  Wayan Sudirta Sambut Baik Pengesahan RUU Provinsi Bali

  • 05 April 2023
  • Oleh: PDI Perjuangan Bali
  • Dibaca: 372 Pengunjung

Jakarta - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali, I Wayan Sudirta menyambut baik pengesahan RUU tentang Provinsi Bali menjadi UU, Selasa (4/4/2023). Undang-Undang ini juga dibentuk untuk mengganti Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

UU tersebur memuat penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, pengakuan karakteristik Provinsi Bali serta kontribusi masyarakat dan negara dalam memberikan penguatan pemajuan kebudayaan dan desa adat di Bali. “Meskipun secara konsepsi UU yang baru ini masih jauh dari harapan masyarakat Bali berkaitan dengan pemberian otonomi khusus, namun secara prinsip beberapa karakteristik masyarakat Bali dan Provinsi Bali sudah direkognisi dalam UU ini,” ujar Sudirta dalam keterangan persnya, pada Selasa (4/4/2023).

Dia menyebut, pembahasan RUU Provinsi Bali tidak dengan mudah dilakukan, terutama mendorong penguatan dan rekognisi negara terhadap kekhususan Provinsi Bali. Butuh lebih dari 20 tahun untuk memperjuangkan kekhususan Provinsi Bali. “Kebutuhan untuk merumuskan regulasi mengenai otonomi khusus bagi Provinsi Bali semakin mendesak,” tuturnya.

Hal ini terkait dengan dua pertimbangan. Pertama, aspirasi masyarakat Bali untuk menuntut pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Bali tidak pernah padam. Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Substansi kekhususan yang dikehendaki di Bali meliputi pariwisata (perencanaan, perizinan, promosi dan pengendalian pariwisata yang terpadu di Pemerintah Provinsi).

Lalu, adat dan budaya (pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dan penghormatan atas hari-hari libur sesuai dengan adat dan budaya). Kemudian, pertanahan (pengakuan atas tanah-tanah adat), tata ruang (perencanaan dan Pengendalian Tata ruang yang berada dalam satu kesatuan ekologis. “Berikutnya, menghormati nilai-nilai budaya dan mempertimbangkan konsep kawasan suci, dan kependudukan, dalam hal ini perencanaan dan pengendalian kependudukan yang terintegrasi antar wilayah dengan memperhatikan hak-hak warga Bali,” beber Sudirta.

Lalu, kelembagaan daerah, yang meliputi pengakuan dan penghormatan pada institusi representasi adat dan agama dalam sistem pemerintahan daerah. “Dan terakhir, pembagian dana perimbangan yang berasal dari sektor pariwisata dan konsep “shareholders” dalam kepemilikan badan usaha antara Pemerintah Pusat dan daerah,” terangnya. Kedua, aspirasi masyarakat Provinsi Bali mendapatkan respon awal dari Sudirta pada awal masa keanggotaannya di DPD RI dengan menginisiasi RUU tersebut di DPD, tahun 2005 dan memperjuangkannya untuk masuk dalam prioritas Prolegnas 2005-2009.

Perjuangan tersebut terus dilakukan Sudirta, pada periode kedua di DPD RI untuk tetap konsisten memperjuangkan Otsus Bali melalui DPD RI hingga masuk menjadi prioritas pembahasan RUU dalam Prolegnas 2010-2014 dan dilanjutkan dalam Prolegnas 2015-2019, serta Prolegnas 2020-2024. Walaupun sudah masuk dalam prolegnas, namun RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi belum pernah dirumuskan dan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI maupun Pemerintah.

Gagasan itu muncul tatkala, DPR-Pemerintah menyepakati untuk melakukan peninjauan terhadap UU Pembentukan Provinsi disesuaikan dengan dasar hukum dan perkembangan karateristik Provinsi yang bersangkutan. “Pemerintah, masyarakat, dan anggota DPR dari Provinsi Bali mendorong konsep Otsus Bali ini dalam revisi UU Pembentukan tersebut,” ungkap Sudirta. Walaupun memiliki basis argumentasi yang kuat, namun wacana Otsus dan daerah istimewa di luar empat daerah (Papua, Aceh, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta) memiliki hambatan politik yang tidak ringan.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi tantangan politik dari gagasan Otsus ini. Tantangan awal bisa muncul dari pembela gagasan Negara Kesatuan (Unitarianisme). Bagi para penyongkong gagasan ini, Otsus dianggap sebagai bagian dari mewujudukan federalisasi dalam negara kesatuan. “Singkatnya, konsep otonomi khusus dipandang sebagai upaya memperkuat provinsialisme atau bahkan federalisme,” ujar Sudirta. Tantangan berikutnya bisa berasal dari kalangan yang menganggap Otsus bukan solusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.

Pandangan ini semakin kuat muncul ketika terjadi problem dalam implementasi Otsus, baik di Aceh maupun Papua. Tantangan juga bisa muncul dari kalangan yang berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus pada sebuah daerah akan “menular” dan diikuti oleh tuntutan yang sama dari daerah-daerah lain. Sudirta menyebut, jika dicermati lebih jauh, penolakan atas Otsus lebih didasarkan pada dua hal. Pertama, penggunaaan istilah Otonomi Khusus itu sendiri. Dan yang kedua, terkait dengan persepsi atas praktik-implementasi Otsus yang diterapkan di Aceh dan Papua. Sehingga, penolakan bukan pada substansi kekhususan yang dimiliki oleh sebuah daerah.

Oleh karena itu, ke depan dalam kerangka memasukkan kembali substansi materi pengaturan kekhususan bagi Provinsi Bali. “Di antaranya, meletakkan substansi kekhususan Provinsi Bali tersebut pada perubahan berbagai Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang sektoral dengan memasukkan substansi kekhususan Provinsi Bali dalam muatan undang-undang tersebut,” tandas Sudirta.


  • 05 April 2023
  • Oleh: PDI Perjuangan Bali
  • Dibaca: 372 Pengunjung

Berita Terkait Lainnya