Pendaftaran Kader PDI Perjuangan

Wayan Sudirta Beberkan Perkembangan Konsepsi Otsus Bali hingga Lahirnya UU Provinsi Bali Tahun 2023

  • 05 April 2023
  • Oleh: PDI Perjuangan Bali
  • Dibaca: 452 Pengunjung

Jakarta – Melalui perjuangan panjang, DPR RI resmi mengesahkan RUU tentang Provinsi Bali menjadi UU di Jakarta pada Selasa (4/4/2023).

Undang-Undang ini juga dibentuk untuk mengganti Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang memuat penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, pengakuan karakteristik Provinsi Bali serta kontribusi masyarakat dan negara dalam memberikan penguatan pemajuan kebudayaan dan desa adat di Bali.

Meskipun secara konsepsi UU yang baru ini masih jauh dari harapan masyarakat Bali berkaitan dengan pemberian otonomi khusus, namun secara prinsip beberapa karateristik masyarakat Bali dan Provinsi Bali sudah direkognisi dalam UU ini. Pembahasan RUU Provinsi Bali tidak dengan mudah dilakukan, terutama sekali mendorong adanya penguatan dan rekognisi negara terhadap kekhususan Provinsi Bali. Butuh 20 (dua puluh) tahun lebih untuk memperjuangkan Kekhususan Provinsi Bali.

Kebutuhan untuk merumuskan regulasi mengenai otonomi khusus bagi  Provinsi Bali semakin mendesak. Hal ini terkait dengan dua pertimbangan berikut ini: Pertama, aspirasi masyarakat Bali untuk menuntut  pemberlakuan  otonomi khusus bagi Provinsi Bali tidak pernah “padam”. Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Selanjutnya, aspirasi masyarakat Bali tersebut telah mendapatkan penerimaan politik dan didukung secara resmi oleh pemerintahan daerah, baik pada level Provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota se-Bali. Pada tahun 2005, DPRD Provinsi Bali membentuk Panitia Khusus untuk merumuskan RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali. Bahkan, Pansus Otsus Bali DPRD Bali telah berhasil merumuskan RUU Otonomi Khusus Bali yang disertai Naskah Akademiknya. Tidak berhenti sampai disitu saja. Pada tahun 2012, aspirasi otonomi khusus bagi Provinsi Bali kembali mengemuka melalui Gerakan Forum Perjuangan Hak Bali.  Hal ini menegaskan bahwa secara sosiologis-politis, masyarakat Bali, dalam kurun waktu sepuluh tahun terahir, secara ajeg telah mengartikulasi dan memperjuangkan aspirasi kepada Pemerintah Pusat untuk memperoleh  status sebagai daerah khusus.

Kedua, Aspirasi masyarakat Provinsi Bali mendapatkan respons awal dari Anggota DPD RI (I Wayan Sudirta) pada awal masa keanggotaannya di DPD RI dengan menginisiasi RUU tersebut di DPD (tahun 2005) dan memperjuangkannya untuk masuk dalam prioritas Prolegnas 2005-2009. Perjuangan tersebut terus dilakukan I Wayan Sudirta, pada periode kedua di DPD RI untuk tetap konsisten memperjuangakan Otsus Bali melalui DPD RI hingga masuk menjadi prioritas pembahasan RUU dalam Prolegnas 2010-2014 dan dilanjutkan dalam Prolegnas 2015-2019, serta Prolegnas 2020-2024.  Walaupun sudah masuk dalam  prolegnas, namun RUU Otonomi Khusus bagi Provinsi belum pernah dirumuskan dan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI maupun Pemerintah.

Ketiga, Momen pembahasan Otsus Bali itu muncul tatkala, DPR-Pemerintah menyepakati untuk melakukan peninjauan terhadap UU Pembentukan Provinsi disesuaikan dengan dasar hukum dan perkembangan karateristik Provinsi yang bersangkutan. Pemerintah, masyarakat, dan anggota DPR dari Provinsi Bali mendorong konsep Otsus Bali ini dalam revisi UU Pementukan tersebut.

Secara substansi, dalam kaitan UU Provinsi Bali beberapa substansi yang penting berkaitan dengan karateristik dan rekognisi negara terhadap Provinsi Bali adalah sebagai berikut:

Pertama, berkaitan dengan karateristik Provinsi Bali sesuai dengan Tri Hita Karana. Dalam UU ini akan diatur dalam Pasal 5, berbunyi:

Tri hita karana merupakan filosofi masyarakat Bali mengenai tiga penyebab kebahagiaan, yaitu sikap hidup yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antarsesama manusia, dan antara manusia dengan lingkungan berdasarkan pengorbanan suci (yadnya); dan sad kerthi merupakan nilai kearifan lokal masyarakat Bali sebagai upaya untuk penyucian jiwa (atma kerthi), penyucian laut beserta pantai (segara kerthi), penyucian sumber air (danu kerthi), penyucian tumbuh-tumbuhan (wana kerthi), penyucian manusia (jana kerthi), dan penyucian alam semesta (jagat kerthi).

Kedua, rekognisi berkaitan dengan Desa Pakraman dan Subak, sebagaimana diatur dalam Pasal 6. Walaupun diatur secara generalis namun pengaturan dalam Pasal 6 ini membawa perspektif baru mengenai Desa Pakraman diluar konteks “Desa” yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 6 UU ini berbunyi:

Dalam wilayah Provinsi Bali terdapat desa adat dan subak yang diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, terkait karateristik Pembangunan Provinsi Bali. Pada UU ini ditegaskan bagaimana penyelenggaraan pembangunan Provinsi Bali. Walaupun ketentuan dalam UU mengatur secara generalis dari konsep yang diusulkan oleh Provinsi Bali, yakni adanya kewenangan untuk mengatur lebih lanjut beberapa urusan Kewenangan Provinsi Bali sebagai daerah otonom mencakup:1) kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan; 2),  kewenangan khusus yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Kewenangan khusus bagi provinsi Bali merupakan lex specialis dari kewenangan yang sudah diatur dalam undang-undang yang terkait dengan daerah.  Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Bali dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Bali.

Kewenangan khusus sebagaimana dimaksud meliputi hak dan kewajiban mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Bali, dalam bidang: kebudayaan, pertanahan, tata ruang, lingkungan hidup, pariwisata, penanaman modal skala besar dan strategis, kependudukan dan kelautan, kehutanan

Pasal 7 UU tentang Provinsi Bali selanjutnya mengatur sebagai berikut:

(1) Pembangunan Provinsi Bali diselenggarakan secara terencana dengan memperhatikan karakteristik Provinsi Bali dengan pendekatan tematik, menyeluruh, serta terintegrasi antara alam, manusia, dan kebudayaan dalam satu kesatuan wilayah, pola, dan tata kelola guna mewujudkan kehidupan masyarakat Bali yang sejahtera dan bahagia dengan memperhatikan pemuliaan adat istiadat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal

(2) Perancanaan pembangunan Provinsi Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pembangunan Provinsi Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam rangka mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

(4) Perencanaan pembangunan Provinsi Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk kabupaten/kota dikonsolidasikan dan dikoordinasikan oleh Gubernur.

Keempat, terkait dengan pendanaan. UU ini mengatur secara generalis bagaimana pendanaan bagi pembangunan Provinsi Bali. Dalam Pasal 8 diatur bagaimana sumber-sumber pendanaan dan dibukanya kesempatan adanya dukungan dana dari Pemerintah Pusat berkaitan dengan penguatan pemajuan kebidayaan dan desa adat. Pengaturan ini diharapkan dapat mendorong percepatan pembangunan Provinsi Bali dalam rangka penguatan pemajuan kebudayaan dan desa adat. Pasal 8 berbunyi:

Pemerintah Provinsi Bali memperoleh sumber pendanaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Pusat dapat memberikan dukungan pendanaan dalam rangka penguatan pemajuan kebudayaan dan desa adat.

Selain sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelindungan kebudayaan dan lingkungan alam Bali, Pemerintah Provinsi Bali dapat memperoleh sumber pendanaan yang berasal dari: pungutan bagi wisatawan asing; dan kontribusi dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah Provinsi Bali melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka menyamakan usulan penggunaan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di Provinsi Bali.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoordinasian usulan penggunaan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Secara sosiologis-empirik, upaya untuk memperjuangan kekhususan bagi Provinsi Bali tidak pernah “padam”. Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Selanjutnya, aspirasi masyarakat Bali tersebut telah mendapatkan penerimaan politik dan didukung secara resmi oleh pemerintahan daerah, baik pada level Provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota se-Bali. Substansi kekhususan yang dikendaki di Bali meliputi: Pariwisata (Perencanaan, Perjinan, Promosi dan Pengendalian pariwisata yang terpadu di Pemerintah Provinsi), Adat dan Budaya (Pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dan penghormatan atas hari-hari libur sesuai dengan adat dan budaya), Pertanahan (Pengakuan atas tanah-tanah adat), Tata Ruang (Perencanaan dan Pengendalian Tata ruang yang berada dalam satu kesatuan ekologis, menghormati nilai-nilai budaya dan mempertimbangkan konsep  kawasan  suci), Kependudukan (Perencaan dan pengendalian kependudukan yang terintegrasi antar wilayah  dengan memperhatikan hak-hak warga Bali), Kelembagaan Daerah (Pengakuan dan penghormatan pada institusi representasi adat dan agama dalam sistem pemerintahan daerah), dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (Pembagian dana perimbangan yang berasal dari sektor pariwisata dan konsep “shareholders” dalam kepemilikana badan usaha antara pemerintah pusat dan daerah).

Walaupun memiliki basis argumentasi yang kuat, namun wacana Otsus  dan daerah istimewa di luar empat daerah (Papua, Aceh, DKI  Jakarta dan DI Yogyakarta) memiliki hambatan politik yang tidak ringan. Ada beberapa hal yang bisa  menjadi tantangan politik dari gagasan Otsus ini:

Tantangan awal bisa muncul dari pembela gagasan Negara Kesatuan (Unitarianisme). Bagi para penyongkong gagasan ini, Otsus dianggap sebagai bagian dari mewujudukan federalisasi dalam negara kesatuan. Singkatnya, konsep otonomi khusus  dipandang sebagai upaya memperkuat provinsialisme atau bahkan federalisme.

Tantangan berikutnya bisa berasal dari kalangan yang menganggap Otsus bukan solusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Pandangan ini semakin kuat muncul ketika terjadi problem dalam implementasi Otsus, baik di Aceh maupun Papua.

Tantangan juga bisa muncul dari kalangan yang berpendapat bahwa pemberian otonomi khusus pada sebuah daerah akan “menular” dan diikuti oleh tuntutan yang sama dari daerah-daerah lain.

Kalau dicermati lebih jauh penolakan atas Otsus lebih didasarkan pada dua hal: pertama, penggunaaan istilah Otonomi Khusus itu sendiri.  Dan yang kedua, terkait dengan persepsi atas praktik-implementasi Otsus yang diterapkan di Aceh dan Papua. Sehingga, penolakan bukan pada substansi kekhususan yang dimiliki oleh sebuah daerah.  Oleh karena itu, ke depan dalam kerangka memasukkan kembali substansi materi pengaturan kekhususan bagi Provinsi Bali diantaranya meletakan substansi kekhususan Provinsi Bali tersebut pada perubahan berbagai Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang sektoral dengan memasukkan substansi kekhususan Provinsi Bali dalam muatan undang-undang tersebut. (I Wayan Sudirta, S.H., M.H., Anggota DPR RI Fraksi PDIP Dapil Bali).


  • 05 April 2023
  • Oleh: PDI Perjuangan Bali
  • Dibaca: 452 Pengunjung

Berita Terkait Lainnya